Sabtu, 17 Agustus 2013

Bicara Bisnis 01

Kali ini saya mau cerita tentang bagaimana kami bisa mendapatkan kebun karet seluas 2 hektar? Ceritanya, di tahun 2007 saya ditawari oleh Ayah untuk membeli tanah. Waktu itu saya sedang punya uang, yang tadinya akan kami pergunakan untuk membeli rumah. Incarannya saat itu adalah di bilangan Cibubur, seperti kebanyakan teman-teman yang mengambil rumah di sana. Tapi setelah dipikir-pikir tawaran Ayah ini menarik, akhirnya kami (saya dan istri) memutuskan untuk membeli tanah kosong seluas 2 hektar tersebut. Waktu itu posisinya masih jauh dari jalan besar, kira-kira 3 km. Kami pun membelinya dengan harga 40 juta perak per hektar.

Sekitar tahun 2008, karena panggilan keluarga, akhirnya kami pulang kampung ke Gelumbang. Istri memilih untuk mengajar dan kuliah lagi, sedang saya masih mondar-mandir Jakarta-Gelumbang. Tanah 2 hektar tersebut kami tanami karet. Ayah berani ambil resiko untuk mengurusi tanaman itu, ya, paling tidak dia melakukan itu demi cucunya. Kasarnya ya, dia nggak mau lagi kerja sama orang dan memilih untuk fokus berkebun. Tanah 2 hektar tersebut bersebelahan dengan 2 hektar punya Ayah, jadi dia nggak perlu repot lagi pindah-pindah tempat untuk berkebun (sesuai hobinya).

Beruntungnya kami (Aku dan Ayah) dengan investasi 4 hektar itu, tak lama kemudian jalan di depan kebun dibuat untuk jalan batubara. Bayangkan saja, sekarang harga tanah kosong 1 hektar saja tak kurang dari 100 juta perak. Artinya kalau tanah 4 hektar berada di pinggir jalan dan sudah ditanami karet, berarti dihargai berapa? Tanah kosong dekat pom bensin, tak jauh dari tempat kami berada dihargai sekitar 700 juta perak untuk 2 hektar. Jadi kalau investasi tanah kosong di pinggir jalan batubara mungkin bisa naik lagi. Hmmm... Bisa jadi tanah kosong di pinggir jalan batubara harganya sudah tembus 250 juta perak per hektar. 4 hektar, tembus 1 milyar berarti. Itu kalo kosong, kalo ada tanaman karet gimana?

Di sinilah saya belajar satu hal, bahwa mengabdi kepada orangtua itu justru membawa keberuntungan buat kami (aku dan istri). Memang aku dan Ayah punya perjanjian, bahwa investasi perkebunan yang sudah kami bangun tidak boleh digadaikan ke bank atau dijual. Saya pun menerima perjanjian itu, bahkan saya bikin target sendiri, kalau perlu tambah lagi kebunnya sampai 1001 hektar sekalian. Masak Chairul Tanjung bisa, saya nggak bisa, sih?

Semoga dimudahkan oleh Allah! Bismillahi rohmaanir rohiim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar