(#JenderalLuten/#GeneralLuten/Gel/Sumsel/Ind/20130628)
Kepada Bapak Presiden
Republik Indonesia
yang saya hormati. Para Menteri dari segenap
jajaran terkait. Para Pejabat di Republik Indonesia
yang saya hormati. Rakyat Indonesia
yang saya cintai. Assalamu’alaikun warrohmatullohi wabarokaatu.
Hari ini saya sebagai Warga
Negara Republik Indonesia (disingkat
WNI) akan memberikan sebuah pemaparan, disimpulkan dari sudut pandang saya
sebagai pengguna social media (disingkat
socmed).
Seperti yang sudah kita
ketahui sebelumnya, bahwa socmed kini menjadi bagian dari kehidupan kita
sehari-hari. Mulai dari orang besar, orang
kecil, orang tinggi, orang
pendek, banyak yang memakai socmed. Sepengetahuan saya cuma orang-orangan sawah saja yang kelihatannya
belum tertarik menggunakan inovasi ini.
Secara gampang, socmed adalah wahana kita bersosialisasi di dunia maya. Dia
seperti tempat kita menyalurkan ide secara cepat, tanggap, kadang-kadang
akurat. Apalagi dengan kebutuhan teknologi seperti sekarang, socmed sudah
seperti soulmate bagi beberapa orang.
Ya, mungkin itulah yang membuat socmed beda-beda tipis dengan soulmate.
Namanya juga soulmate, berarti pasangan jiwa. Ibarat kata dimana ada
kita, di situ ada soulmate. Soulmate yang kini berubah jadi socmed itulah yang
kemudian menjadi sahabat sejati kita sehari-hari.
Baru-baru ini saya
bereksperimen dengan socmed. Setiap hari selama kurang-lebih 2 bulan saya hidup tak
lepas dari socmed. Maklum pekerjaan saya adalah Satpam Klinik (istilah keren Penjaga Malam di Klinik yang tidak
punya partner sama sekali). Jadi sambil berjaga-jaga, ngapain lagi kalau bukan
berseluncur di socmed. Hitung-hitung nambah pengetahuan sambil bergaul.
Jenderal Luten Hashtag |
Tadi pagi sehabis shift malam, saya kecapean dan entah kenapa ingin ngetwit
di twitter. Saya pun ngetwit dengan hashtag #Jend10. Di situ saya ngetwit mungkin 1 jam atau 2 jam, biar cepat
ngantuk dan tidur. Soalnya kan habis jaga malam. Namanya ngetwit sambil
ngantuk, obrolannya ngalor ngidul nggak jelas. Apalagi nggak ada yang
menanggapi obrolan tersebut. Di situlah saya merasa sendiri dan bertanya, kalo
begini, apa keuntungan socmed buat kehidupan kita? Tapi mirisnya, itu tidak
membuat saya berhenti ngetwit. Saya malah ngetwiiit terus sampe capek sendiri.
Baru deh saya baca lagi
hasil ngetwit saya itu. Ternyata dalam hitungan menit, yang ditwit
berubah-rubah. Mulai dari ngomongin anak, sampe pengen ke Jakarta, pokoknya kemana-mana
deh. Saya jadi heran, kok bisa ya cara bertutur otak kita sedemikian ribet?
Tidak fokus dan kemana-mana, terus yang lebih unik lagi, kesannya seperti
curhat sama seseorang.
Jenderal Luten Hashtag |
Kasus seperti ini sering saya temui di beberapa akun socmed teman. Mereka ngetwit ngalor-ngidul nggak jelas, dan uniknya, di ujung ngetwit mereka nulis ”Akun gue di-hack!” atau ”Siapa yang nge-hack akun gua?” atau ”Sialan! Siapa sih iseng banget nge-hack akun gue?”, dsb.
Intinya, menurut saya itu semacam pembenaran dari apa yang dia lakukan
sebelumnya. Semacam pembenaran bahwa dia malu mengakui kalau isi otaknya kusut
kayak benang wol abis dimainin kucing (CATATAN : Ini menurut saya, lho). Untung tadi saya tidak bilang di-hack, saya
mengaku kalau memang sedang eksperimen dengan diri sendiri (alias ngeles juga,
wkwkwk, tapi beda tipis).
Berbekal eksperimen
tersebut, saya jadi bertanya-tanya tentang isu internasional. Saya punya link
artikel yang intinya berisi tentang Obama yang
khawatir dengan serangan cyberattack. Di bawah ini link-nya…
Dari sini saya jadi mikir, jangan-jangan Obama juga lagi ngeles? Mungkin
karena dia malu ekonomi Amerika sedang sekarat, makanya dia mencari kambing
hitam. Karena bingung mau cari kambing
hitam siapa, Obama lantas menyebut ”hacker”-lah sebagai kambing hitam.
Mungkin untuk beberapa kasus
hal itu benar, tapi gimana kalau ada hacker yang nge-hack dalam rangka cinta.
Masak ada hubungan sama ekonomi dan pertahanan nasional? Selama cintanya suci
dan tidak merusak, toh gak masalah kan?
Jadi intinya tidak semua hacker itu penjahat. Bahkan dulu ada istilah Hacker versus Cracker.
Kalau hacker itu lebih bersifat pembuktian, alias dia melakukan hal tersebut
karena masalah ilmiah (mungkin ada sedikit masalah personal), sementara cracker
melakukannya atas dasar uang.
Dari 2 perbedaan di atas
kita bisa menyimpulkan, sebenarnya yang merugikan secara ekonomi itu hacker
atau cracker?
Sekian laporan dari saya, lebih dan kurang saya mohon maaf. Wabillahi
taufik wal hidayah, wassalamu’alaikum warrohmatullohi wabarokaatu.
Hormat saya,
Jenderal Luten.
CATATAN :
1. Tulisan di atas dapat respon dari Donny BU
2. Tulisan yang mendapat respon dari Onno W Purbo
3. Link : Jenderal Luten / Dwi Yulius Kaisal) 1. Tulisan di atas dapat respon dari Donny BU
2. Tulisan yang mendapat respon dari Onno W Purbo
Ide tulisanmu menarik Wak. Tapi kalau bisa ditata lebih rapi lah tutur bahasa dan logikanya.
BalasHapusTetap semangat berbagi yah.
Mak itu, yo! Contoh penata-an tuh makmano? Ado dak?
BalasHapussorry bro baru buka blog lo nih, dah setahun ini gue alergi sama internet. ini juga cuma buka blog doang sama komen, mau baca nya lagi males. :D
BalasHapustetap semangat lah bro...!!!