Yang terhormat, Bapak
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Yang terhormat, Ibu Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.
Yang terhormat, siapa saja yang berkaitan dengan Perfilman Indonesia.
Dan Rakyat Indonesia
yang saya cintai. Assalamu’alaikum warrohmatullohi wabarokaatu!
Pertama-tama saya mohon maaf, karena saya merasa bukan siapa-siapa untuk
bicara di sini. Saya hanya WNI yang merasa ada kejanggalan dengan Perfilman
Indonesia. Seperti saat saya tidak sengaja membaca sebuah blog/website ini. Miris rasanya membaca tabel tentang Data Penonton Film
Indonesia 2013. Film terlaris sejauh ini adalah Cinta
Brontosaurus, dengan jumlah penonton 892.393 di seluruh Indonesia.
Film yang diproduseri oleh produser saya dulu
bahkan tidak menembus angka 1 juta penonton. Coba kita kalkulasikan…
Populasi penduduk Indonesia
adalah 237.424.363 jiwa. Sementara jumlah
penonton Cinta Brontosaurus hanya 892.393 penonton. Maka…
892.393 / 237.424.363 x 100 = 0,3759 %.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa jumlah penonton Indonesia itu tidak
mencapai 1% dari jumlah penduduk Indonesia. Berarti memang tidak ada gairah
bagi masyarakat Indonesia untuk datang ke bioskop dan menonton film.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, yang pertama adalah
televisi. Penonton tidak datang ke
bioskop karena mereka berfikir, ”Ah! Paling sebentar
lagi masuk TV”. Ini salah satu yang menyebabkan mereka enggan datang ke
bioskop. Di samping itu memang jumlah bioskop di Indonesia sudah berkurang sekarang.
Tidak
seperti zaman dulu, di kota kecil sekelas Prabumulih (Sumatera
Selatan) saja ada 3 bioskop.
Oke kita tidak akan balik lagi ke masa lalu, nanti
muter-muter masalahnya.
Terus yang kedua adalah pembajakan. Ini yang paling bermasalah, karena
memang situasi seperti ini sudah mendunia. Bukan hanya Indonesia yang
mengalami, tapi bahkan perfilman Hollywood juga. Jadi kita agak susah merenovasi
kebijakan (saya rasa), karena memang sudah
begini keadaannya.
Ketiga, pangsa penonton Indonesia (alias anak muda)
sudah banyak beralih ke dunia internet. Tidak bisa dipungkiri bahwa internet
lebih mengasyikkan ketimbang menonton film di bioskop. Yakin deh, kalau mereka
dikasih uang jajan 100.000, mereka pasti memilih beli pulsa internet ketimbang
ke bioskop. Karena kalau menikmati bioskop hanya 2 jam, sedang internet dengan
100 ribu perak bisa sebulan, bahkan lebih.
Mungkin masih ada banyak faktor lain, tapi untuk sementara 3 ini saja dulu,
karena menurut saya 3 bagian ini vital. Disebut vital karena memunculkan
pertanyaan di benak saya, mau dibawa kemana
Perfilman Indonesia? Mau buka bioskop di dunia maya? Sudah pernah dicoba, tapi sayang infrastruktur di
lapangan kurang mendukung. Apalagi semenjak kemunculan youtube, semua
alternatif langsung buyar. Jangankan bioskop, televisi saja sudah kebat-kebit
dengan kehadiran youtube. Ditambah dengan isu tentang televisi masa depan.
Kondisi ini membuat sebagian
orang (termasuk saya) merasa takut akan masa depan di bidang perfilman, kayak
menemukan jalan buntu-lah kira-kira. Tapi kalo diingat-ingat lagi, sebenarnya
kita tidak perlu takut, sebab masa depan itu mustinya dijawab dengan harapan
(istilah motivator). Artinya, pasti ada jalan keluar untuk memperbaiki segala permasalahan ini,
ketimbang mengeluh dan mengeluh, ”Eh!
Eh! Kok gitu seh?”.
Maka tersebutlah sebuah organisasi bawah tanah yang sedang menyiapkan
perbaikan perfilman Indonesia. Organisasi yang memiliki jaringan luas dan
sinyalnya kuat. Organisasi yang berisi orang-orang pilihan, dari perguruan
silat pilihan pula tentunya.
Organisasi yang memiliki semangat Bhinneka
Tunggal Ika menuju Indonesia lebih baik di masa depan.
Muncul lagi pertanyaan baru
di benak saya, sebenarnya kita masih butuh Film-Film Indonesia
gak, sih? Kalau melihat fungsi film sebagai penguat karakter kebangsaan, maka kita
akan jawab butuh,
butuh banget malah. Nah, yang jadi masalah tuh adalah duit. Bahasa kerennya
sih, bagaimana cara mengembalikan modal kalau
kita membuat film? Dalam artian, kita musti melihat film dari sudut pandang
bisnis. Ya, iyalah. Masak sudah beli kamera, modal pacaran dengan artis, terus
kuliah di kampus film, tapi nggak balik modal. Apa kata dunia?
Bertolak dari pertanyaan tersebut, maka saya punya pertanyaan lain (nanya
muluk wkwkwk), kenapa film tidak masuk dalam ranah Bursa Efek? Saya sih kurang
begitu paham bursa efek itu apa, tapi intinya menurut saya orang beli saham rame-rame buat modalin sebuah perusahaan.
Di film Indonesia cara seperti ini sudah
dibuktikan lewat film Demi Ucok.
Ide sokongan rame-rame buat film tuh, sudah bisa dilihat. Namun sayang,
lagi-lagi jumlah penonton masih kurang.
Sigh!
Capek nanya muluk, ah.
Mungkin begini kali ya, pemecahannya. Kita kembalikan bahwa membuat film
itu adalah berkarya. Dalam artian berkarya agar bisa berkarya lagi. Rumusnya
mungkin begini...
(Bikin Film = Balik Modal + Dapur
Ngebul + Keuntungan) = Bikin Film Lagi
(BF = BM + DN + K) = BFL
BF
= BFL
Gampangnya, gimana cara
bikin film yang bisa balik modal, terus bisa memenuhi kebutuhan dapur ngebul,
dan punya keuntungan (gak usah
banyak-banyak). Dari situlah maka kita bisa membuat film lagi. Artinya, gimana mau bikin
film coba, kalo dapur saja gak ngebul? Gimana mau mikir skenario, kalo perut
aja laper? Gimana mau ngangkat kamera, kalo pacar nagih-nagih minta kawin, dsb.
Kira-kira begitulah pandangan dari saya. Jadi benar kata pepatah dulu,
bahwa duit memang masalah, tapi kalo kita dengar pepatah Alam tantang duit,
lain lagi. Duit itu singkatan dari Do’a-Usaha-Iman-Taqwa.
Sekian pertanyaan dan solusi (mungkin) dari saya. Lebih dan kurang saya
mohon maaf, wabillahi raufik wal hidayah, wassalamu ’alaikum warooh matullohi
wabarokaaatu!
Hormat Saya,
CATATAN:
1. (Link : Jenderal Luten / Dwi Yulius Kaisal)
2. Tulisan saya yang lain