Sedang Mengobati Karet (Wurry Parluten / 1 Mei 2013) | Sumber http://t.co/1izx2NkMVS pic.twitter.com/kmZJLhS9FN
— Wurry Parluten (@Jenderal_Luten) August 17, 2013
Kali ini saya mau cerita tentang bagaimana kami
bisa mendapatkan kebun karet seluas 2 hektar? Ceritanya, di tahun 2007 saya
ditawari oleh Ayah untuk membeli tanah. Waktu itu saya sedang punya uang, yang
tadinya akan kami pergunakan untuk membeli rumah. Incarannya saat itu adalah di
bilangan Cibubur, seperti kebanyakan teman-teman yang mengambil rumah di sana.
Tapi setelah dipikir-pikir tawaran Ayah ini menarik, akhirnya kami (saya dan
istri) memutuskan untuk membeli tanah kosong seluas 2 hektar tersebut. Waktu
itu posisinya masih jauh dari jalan besar, kira-kira 3 km. Kami pun membelinya
dengan harga 40 juta perak per hektar.
Sekitar tahun 2008, karena panggilan keluarga,
akhirnya kami pulang kampung ke Gelumbang. Istri memilih untuk mengajar dan
kuliah lagi, sedang saya masih mondar-mandir Jakarta-Gelumbang. Tanah 2 hektar
tersebut kami tanami karet. Ayah berani ambil resiko untuk mengurusi tanaman
itu, ya, paling tidak dia melakukan itu demi cucunya. Kasarnya ya, dia nggak
mau lagi kerja sama orang dan memilih untuk fokus berkebun. Tanah 2 hektar
tersebut bersebelahan dengan 2 hektar punya Ayah, jadi dia nggak perlu repot
lagi pindah-pindah tempat untuk berkebun (sesuai hobinya).
Beruntungnya kami (Aku dan Ayah) dengan investasi
4 hektar itu, tak lama kemudian jalan di depan kebun dibuat untuk jalan
batubara. Bayangkan saja, sekarang harga tanah kosong 1 hektar saja tak kurang
dari 100 juta perak. Artinya kalau tanah 4 hektar berada di pinggir jalan dan
sudah ditanami karet, berarti dihargai berapa? Tanah kosong dekat pom bensin,
tak jauh dari tempat kami berada dihargai sekitar 700 juta perak untuk 2
hektar. Jadi kalau investasi tanah kosong di pinggir jalan batubara mungkin
bisa naik lagi. Hmmm... Bisa jadi tanah kosong di pinggir jalan batubara
harganya sudah tembus 250 juta perak per hektar. 4 hektar, tembus 1 milyar
berarti. Itu kalo kosong, kalo ada tanaman karet gimana?
Di sinilah saya belajar satu hal, bahwa mengabdi
kepada orangtua itu justru membawa keberuntungan buat kami (aku dan istri). Memang
aku dan Ayah punya perjanjian, bahwa investasi
perkebunan yang sudah kami bangun tidak boleh digadaikan ke bank atau dijual.
Saya pun menerima perjanjian itu, bahkan saya bikin target sendiri, kalau perlu tambah lagi kebunnya sampai
1001 hektar sekalian. Masak Chairul Tanjung bisa, saya nggak bisa, sih?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar