Jumat, 28 Juni 2013

Laporan Pertanggung Jawaban Jenderal Luten


(#JenderalLuten/#GeneralLuten/Gel/Sumsel/Ind/20130628)


Kepada Bapak Presiden Republik Indonesia yang saya hormati. Para Menteri dari segenap jajaran terkait. Para Pejabat di Republik Indonesia yang saya hormati. Rakyat Indonesia yang saya cintai. Assalamu’alaikun warrohmatullohi wabarokaatu.

Hari ini saya sebagai Warga Negara Republik Indonesia (disingkat WNI) akan memberikan sebuah pemaparan, disimpulkan dari sudut pandang saya sebagai pengguna social media (disingkat socmed).

Seperti yang sudah kita ketahui sebelumnya, bahwa socmed kini menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Mulai dari orang besar, orang kecil, orang tinggi, orang pendek, banyak yang memakai socmed. Sepengetahuan saya cuma orang-orangan sawah saja yang kelihatannya belum tertarik menggunakan inovasi ini.
Secara gampang, socmed adalah wahana kita bersosialisasi di dunia maya. Dia seperti tempat kita menyalurkan ide secara cepat, tanggap, kadang-kadang akurat. Apalagi dengan kebutuhan teknologi seperti sekarang, socmed sudah seperti soulmate bagi beberapa orang. Ya, mungkin itulah yang membuat socmed beda-beda tipis dengan soulmate.
Namanya juga soulmate, berarti pasangan jiwa. Ibarat kata dimana ada kita, di situ ada soulmate. Soulmate yang kini berubah jadi socmed itulah yang kemudian menjadi sahabat sejati kita sehari-hari.

Baru-baru ini saya bereksperimen dengan socmed. Setiap hari selama kurang-lebih 2 bulan saya hidup tak lepas dari socmed. Maklum pekerjaan saya adalah Satpam Klinik (istilah keren Penjaga Malam di Klinik yang tidak punya partner sama sekali). Jadi sambil berjaga-jaga, ngapain lagi kalau bukan berseluncur di socmed. Hitung-hitung nambah pengetahuan sambil bergaul.

Jenderal Luten  Hashtag


Tadi pagi sehabis shift malam, saya kecapean dan entah kenapa ingin ngetwit di twitter. Saya pun ngetwit dengan hashtag #Jend10. Di situ saya ngetwit mungkin 1 jam atau 2 jam, biar cepat ngantuk dan tidur. Soalnya kan habis jaga malam. Namanya ngetwit sambil ngantuk, obrolannya ngalor ngidul nggak jelas. Apalagi nggak ada yang menanggapi obrolan tersebut. Di situlah saya merasa sendiri dan bertanya, kalo begini, apa keuntungan socmed buat kehidupan kita? Tapi mirisnya, itu tidak membuat saya berhenti ngetwit. Saya malah ngetwiiit terus sampe capek sendiri.

Baru deh saya baca lagi hasil ngetwit saya itu. Ternyata dalam hitungan menit, yang ditwit berubah-rubah. Mulai dari ngomongin anak, sampe pengen ke Jakarta, pokoknya kemana-mana deh. Saya jadi heran, kok bisa ya cara bertutur otak kita sedemikian ribet? Tidak fokus dan kemana-mana, terus yang lebih unik lagi, kesannya seperti curhat sama seseorang.

Jenderal Luten  Hashtag


Kasus seperti ini sering saya temui di beberapa akun socmed teman. Mereka ngetwit ngalor-ngidul nggak jelas, dan uniknya, di ujung ngetwit mereka nulis Akun gue di-hack! atau Siapa yang nge-hack akun gua? atau Sialan! Siapa sih iseng banget nge-hack akun gue?, dsb.

Intinya, menurut saya itu semacam pembenaran dari apa yang dia lakukan sebelumnya. Semacam pembenaran bahwa dia malu mengakui kalau isi otaknya kusut kayak benang wol abis dimainin kucing (CATATAN : Ini menurut saya, lho). Untung tadi saya tidak bilang di-hack, saya mengaku kalau memang sedang eksperimen dengan diri sendiri (alias ngeles juga, wkwkwk, tapi beda tipis).

Berbekal eksperimen tersebut, saya jadi bertanya-tanya tentang isu internasional. Saya punya link artikel yang intinya berisi tentang Obama yang khawatir dengan serangan cyberattack. Di bawah ini link-nya…

Dari sini saya jadi mikir, jangan-jangan Obama juga lagi ngeles? Mungkin karena dia malu ekonomi Amerika sedang sekarat, makanya dia mencari kambing hitam. Karena bingung mau cari kambing hitam siapa, Obama lantas menyebut ”hacker”-lah sebagai kambing hitam.

Mungkin untuk beberapa kasus hal itu benar, tapi gimana kalau ada hacker yang nge-hack dalam rangka cinta. Masak ada hubungan sama ekonomi dan pertahanan nasional? Selama cintanya suci dan tidak merusak, toh gak masalah kan?

Jadi intinya tidak semua hacker itu penjahat. Bahkan dulu ada istilah Hacker versus Cracker. Kalau hacker itu lebih bersifat pembuktian, alias dia melakukan hal tersebut karena masalah ilmiah (mungkin ada sedikit masalah personal), sementara cracker melakukannya atas dasar uang.

Dari 2 perbedaan di atas kita bisa menyimpulkan, sebenarnya yang merugikan secara ekonomi itu hacker atau cracker?

Sekian laporan dari saya, lebih dan kurang saya mohon maaf. Wabillahi taufik wal hidayah, wassalamu’alaikum warrohmatullohi wabarokaatu.

Hormat saya,


Jenderal Luten.


CATATAN
1. Tulisan di atas dapat respon dari Donny BU
2. Tulisan yang mendapat respon dari Onno W Purbo
3. Link : Jenderal Luten / Dwi Yulius Kaisal)  

3 komentar:

  1. Ide tulisanmu menarik Wak. Tapi kalau bisa ditata lebih rapi lah tutur bahasa dan logikanya.
    Tetap semangat berbagi yah.

    BalasHapus
  2. Mak itu, yo! Contoh penata-an tuh makmano? Ado dak?

    BalasHapus
  3. sorry bro baru buka blog lo nih, dah setahun ini gue alergi sama internet. ini juga cuma buka blog doang sama komen, mau baca nya lagi males. :D

    tetap semangat lah bro...!!!

    BalasHapus